28 Maret 2010

Bangga Berbahasa Indonesia Sebuah Tawaran[1]

Eko Endarmoko [2]
Jika selama ini kebanyakan orang beranggapan bahwa kerja menyunting itu hanya berurusan dengan ejaan dan tata bahasa, tak lebih dari semacam kerja pertukangan, sebentar lagi akan kita melihat bahwa anggapan tersebut keliru, bahwa sebetulnya menyunting bukan sekadar mengurusi aspek bahasa sebuah naskah yang akan diterbitkan menjadi sebuah buku.

Menyunting atau mengedit lazimnya dikaitkan dengan kegiatan mempersiapkan sebuah naskah, entah berupa tulisan pendek atau calon buku, dari segi bahasa. Oleh sebab itu, penyunting sudah dengan sendirinya perlu menguasai pengetahuan mengenai bahasa, dari soal ejaan dan tanda baca, tata kalimat, sampai pada tataran makna. Ini saya kira bukanlah syarat melainkan semacam sifat yang lekat pada diri penyunting. Lebih penting di sini adalah kemampuan berbahasa—atau dalam rumusan lain, keterampilan berkomunikasi—yaitu bagaimana semua pengetahuannya tentang bahasa diwujudkan dalam praktik. Ia juga, tentu saja, diharapkan cukup memahami topik tulisan yang tengah ia garap, atau paling sedikit, konteks yang menelikungi teks garapannya.

Saya setuju dengan pandangan bahwa penerapan kaidah berbahasa yang baik dan benar berperan besar dalam penciptaan kalimat yang mudah, dan kecil kemungkinan akan salah, dimengerti. Atau sebaliknya, kalimat yang kabur sering dapat dibuktikan terlahir dari tangan orang yang abai pada kaidah berbahasa. Maka dapat dimaklumi apabila seorang penyunting pertama-tama dituntut menguasai betul kaidah bahasa, tahu persis bagaimana menggunakan tanda baca, mana bentuk kata yang baku dan mana yang tidak, bagaimana membangun kalimat yang efektif, seperti apa rupa wacana yang elok dari segi bahasa.

Barangkali itu sebabnya mengapa timbul anggapan bahwa menyunting adalah memperbaiki, atau berurusan dengan, bahasa. Anggapan yang kurang tepat benar ini dekat dengan pemikiran bahwa bahasa adalah alat, metode, dengan segala hukum di dalamnya, guna menyampaikan sesuatu maksud. Ini adalah anggapan yang melupakan segi paling penting dari bahasa, yaitu kenyataan bahwa bahasa adalah satu dunia tersendiri yang terdiri atas konsep dan makna: ada yang sudah dan ada pula yang belum punya nama. Ia punya aturan main sendiri, yang terkadang ganjil dan tak sejalan dengan—atau malah memunggungi, sebagaimana tampak pada karya sastra—aturan formal ketatabahasaan yang lazim. Ringkasnya, ilmu bahasa boleh jadi akan selalu mengalami kesulitan merumuskan gejala kebahasaan secara teoritis, memetakannya secara ilmiah.

Penyunting yang memandang bahasa sekadar alat telah terkecoh oleh pandangannya yang tidak utuh mengenai kerja menyunting. Berbekal kitab aturan bahasa, ia akan mencurahkan perhatiannya lebih kepada bentuk daripada isi. Ia juga akan terpaku pada detail dan abai pada wacana secara keseluruhan. Kalaulah berdasar pandangannya itu seorang penyunting kemudian berpendapat bahwa kaidah bahasa bersifat mutlak, ia saya kira sudah dikendalikan oleh semangat yang berlebihan di dalam upaya membangun kalimat yang necis. Ia senantiasa dibayangi hasrat, kalau tak dapat dikatakan ambisi, menemukan maksud tertentu sebuah teks.

Apabila pada suatu ketika seorang penyunting ragu akan, atau kurang memahami, maksud yang ia bayangkan terkandung di dalam teks, ia akan tergoda merombak teks tersebut. Sebagian penyunting malah meyakini bahwa pekerjaan mengubah ini bersifat niscaya, bahwa penyunting harus mencoret demi menunjukkan bahwa ia sudah bekerja. Barangkali tak disadari benar olehnya, seraya membongkar bangun kalimat, ia sebenarnya juga membongkar dunia bahasa, dunia makna di dalamnya. Menjadi persoalan adalah manakala si penyunting mempreteli teks dan menatanya kembali dengan, sekali lagi, berpedoman pada kaidah bahasa yang baku, sambil kemudian tanpa sadar memasukkan pengertiannya sendiri.

Pengetahuan mengenai kaidah kebahasaan, bagi saya, bermanfaat bagi penyunting terutama sepanjang menyangkut bentuk atau segi-segi lahiriah sebuah naskah. Kaidah kebahasaan di situ bolehlah kita padankan dengan kemasan atau baju sebuah tulisan. Tapi kini kita tahu, lebih perlu bagi seorang penyunting adalah mengembangkan kemampuan berbahasa, sebab nilai sebuah tulisan bukan semata terletak pada pelaksanaan kaidah kebahasaan melainkan juga apakah tulisan itu disajikan dengan menarik, dapat dimengerti, dan, yang tak kurang penting: valid.

Sebab, kepatuhan pada kaidah dalam berbahasa menurut saya menunjukkan bukan sebuah sikap patuh, taat, melainkan semacam rasa bangga. Di sekitar lingkup persoalan-persoalan itulah seorang penyunting, yang secara sederhana terkadang disebut juga penyelaras bahasa, paling banyak bekerja menjalankan perannya. Maka perkenankanlah saya mengimbuhkan satu saja peran penyunting: ia seyogianya menyemaikan rasa bangga itu di kalangan pemakai bahasa Indonesia.

Tidak sedikit orang yang berpandangan bahwa sang penyelaras bahasa alias penyunting itu harus memiliki pengetahuan bahasa yang memadai seolah-olah itulah satu-satunya persoalan yang dihadapi dan mesti diselesaikan oleh penyunting sehingga patut dinyatakan lebih tegas sebagai syarat mutlak menjadi penyunting. Saya melihat ada persoalan di balik desakan tersebut. Seperti tadi sudah saya katakan, penyunting menguasai pengetahuan bahasa, menurut saya, bersifat niscaya. Ini lebih merupakan sifat yang lekat pada diri seorang penyunting daripada mesti dianggap sebagai sebuah syarat. Lebih patut dipersoalkan adalah apakah bila dikatakan penyunting harus mengerti kaidah tata bahasa Indonesia, lantas juga berarti harus mematuhi kaidah itu? Inilah “paradoks” dalam kerja menyunting sebagaimana nanti akan kita bincangkan lebih lanjut, setelah, atau sambil mencoba menjawab pertanyaan: apakah “penyunting”? Juga, apakah “menyunting”?

Istilah “penyunting” sering dipakai berganti-ganti dengan “editor”. Kedua istilah ini sebenarnya punya arti sama belaka. Tapi, entah sejak kapan persisnya dan entah siapa pula yang memperkenalkan, kini kita mengenal istilah lain: “penyunting naskah”, sebagai padanan “kopi editor”. Barangkali istilah ini diperkenalkan oleh penerbit besar yang bidang-bidang kerjanya sudah semakin terspesialisasi. Seperti diisyaratkan oleh sebutannya, penyunting naskah semata-mata berurusan dengan naskah, yaitu naskah dari segi bahasa. Ia tidak terlalu berurusan dengan isi konseptual naskah, satu soal yang boleh dibilang justru menjadi pokok perhatian, obyek garapan, seorang penyunting. Ia bekerja di bawah arahan penyunting, membantu mengoreksi kesalahan “kecil-kecil”, seperti tanda baca, salah ketik—termasuk ejaan—dari sebuah naskah yang sudah digarap oleh penyunting.[3] Saya kira istilah yang lebih mengena untuk “kopi editor” atau “penyunting naskah” adalah “korektor” saja. Istilah “editor naskah” di satu sisi mendorong kita berpikir, tentu ada editor-editor lain, yaitu editor non-naskah, entah apa sebutannya yang lebih tepat, namun pastilah tidak cukup bila diistilahkan secara ringkas dalam satu kata: “editor” atau “penyunting” di sisi lain. Editor dan korektor pada akhirnya terbedakan bukan oleh lingkup kerja—mereka pada dasarnya sama-sama berkutat memperbaiki bahasa sebuah naskah; jadi, bidang kerja mereka beririsan—melainkan oleh lingkup tanggung jawab mereka.

Saya hendak mengajukan pendirian bahwa sebenarnya bukan aturan tata bahasa yang membimbing seorang penyunting tatkala ia bekerja—aturan itu sebetulnya tidak lebih dari perangkat kerja belaka, sekalipun kerap berlaku, atau yang benar: diperlakukan, sebagai pedoman—melainkan pengertian-pengertian. Pokok garapan penyunting yang sesungguhnya adalah ide atau gagasan, bukan bahasa. Maka masuklah ia dengan asyik ke tubuh naskah dari awal hingga tuntas menelusuri cerita atau penyajian pengertian demi pengertian. Akibatnya, sepanjang dan sampai ia selesai bekerja, perhatian penyunting itu lebih banyak, atau malah sepenuhnya, tercurah ke isi daripada bentuk. Ia sudah terlena, sebab kelewat mementingkan ide dalam wacana dan tidak peduli benar pada pemakaian bahasanya. Pada titik ini, jelas si penyunting juga telah terkecoh oleh pandangan dia yang tidak utuh mengenai kerja menyunting. Di sini pandangan si penyunting tentang bahasa sedikit banyak ada pengaruhnya. Tidak penting bagi dia apakah sebuah kata ditulis dengan huruf besar atau kecil, sebab jauh lebih penting pembaca dapat mengerti. Atau sebaliknya, sikap abai terhadap kaidah bahasa sangat boleh jadi merupakan akibat dari pendirian yang mementingkan ide atau kandungan isi sebuah naskah.

Jangan-jangan, seperti sudah saya nyatakan di atas, memang tidak sedikit penyunting yang kerap terkecoh, karena terlampau dihantui kehendak menemukan maksud tertentu sebuah teks. Bila suatu ketika sang penyunting ragu akan, atau kurang memahami, maksud yang ia bayangkan terkandung di dalam teks, ia mungkin akan terdorong merombak teks tersebut. Sebagian penyunting malah meyakini bahwa pekerjaan mengubah naskah itu bersifat niscaya, bahwa penyunting harus meninggalkan coretan demi menunjukkan bahwa ia sudah bekerja. Boleh jadi sungguh tidak ia sadari, tatkala membongkar bangun kalimat, ia sebenarnya juga membongkar dunia bahasa, dunia makna di dalamnya. Menjadi persoalan adalah manakala si penyunting mempreteli teks dan menatanya kembali—dengan berpedoman pada kaidah bahasa yang baku—sambil kemudian, dengan atau tanpa sadar, memasukkan pengertiannya sendiri, sebuah laku menafsirkan, yang bisa saja keliru, atau berbeda dari yang dimaksud oleh penulis.

Jangan pernah dilupakan, tubuh sebuah wacana tidak lain dari kumpulan ide yang saling berjalinan. Kesadaran akan hal ini sepatutnyalah mendorong seorang penyunting terus-menerus awas terhadap setiap pernyataan atau pemakaian suatu istilah yang barangkali menurutnya rada ganjil, entah karena setahu dia tidak bersesuaian dengan fakta atau karena ia sendiri tidak terlalu yakin. Tidak sulit menguji kebenaran tiap pernyataan atau data yang menimbulkan keraguan seperti itu, sebab kini sudah tersedia banyak sekali sumber rujukan, dari berbagai macam kamus, ensiklopedia, sampai situs-situs di internet. Penyunting, menurut hemat saya, punya kewajiban moral yang melarang dia membiarkan keganjilan seperti itu pada naskah yang akan diterbitkan atau disiarkan. Paling sedikit, ia dapat mempersoalkan satu perkara pada penulis manakala hal ini mungkin. Semua ini bukan lantas berarti seorang penyunting dapat mengendurkan kewaspadaannya akan pemakaian bahasa sebuah naskah yang tengah ia garap. Sebab, celakalah orang yang terlalu percaya pada bahasa, terutama kata-kata, bahkan di dalam tulisannya sendiri, antara lain karena sebuah kata sering berkhianat sehingga maksud dia gampang ditafsirkan lain.

Itu karena makna teks kerap hadir sebagai sesuatu yang cair, karena satu kata (seperti juga bentuk yang lebih luas, yaitu kalimat dan wacana) bisa punya beragam arti dan watak. Kata “kanan” dan “kiri” kita tahu menunjukkan orientasi arah, tapi dalam kenyataannya dapat merujuk pada haluan atau kelompok ideologi politik tertentu. Pada tataran wacana, manakala membaca sebuah tulisan, setiap orang akan punya penafsiran sendiri sesuai dengan kepentingan, latar sosial, taraf pengetahuan, tingkat kedewasaan, dan pengalaman membaca masing-masing. Sebuah tulisan dikatakan gelap, alias tidak dapat dipahami, terkadang bukan karena pembaca bodoh sebagaimana mungkin sekali dituduhkan oleh kalangan penulis, melainkan karena idenya dirumuskan dalam tulisan yang berbelit-belit.

Tadi saya katakan, sebuah kata sering “berkhianat” — ini sebetulnya tidak tepat benar. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Bagaimana mungkin sebuah benda yang tidak punya nyawa, pikiran, dan kehendak, dapat berkhianat? Yang dapat dan memang cukup sering terjadi: di luar kendali atau kehendak kita, sebuah kata bisa saja menghantarkan makna yang tidak kita maui, yang tidak kita maksudkan seperti antara lain ditunjukkan oleh beberapa ilustrasi pada paragraf-paragraf di atas.

Kadang saya bertanya-tanya, sudah sedemikian jelekkah bangun bahasa Indonesia sehingga tak mampu lagi menjadi wadah yang baik bagi ide-ide penulis? Jika tidak, itu berarti para penulislah―termasuk penyunting, barangkali―yang enggan berkeringat di dalam menjelajahi pelbagai kemungkinan yang tersedia di dalam bahasa Indonesia. Tapi jika benar begitu, patut kita bertanya-tanya, apakah yang sudah dikerjakan para penyunting atau redaktur selama ini?

Kerja menyunting, sekali lagi, bagi saya menuntut bukan saja pengetahuan bahasa atau linguistik, melainkan juga pengetahuan berbahasa. “Pengetahuan bahasa” adalah pengetahuan teoritis tentang bahasa, yaitu pengetahuan mengenai ilmu bahasa serta teori dan kaidah-kaidah kebahasaan. Sedangkan “pengetahuan berbahasa” adalah sebuah kecakapan: bagaimana semua pengetahuan teoritis tentang bahasa diwujudkan, diterapkan, diejawantahkan dalam praktik. Fungsi seorang penyunting tidak berhenti pada pelurusan aspek-aspek bahasa belaka. Soal-soal “sipil” ini biasanya dianggap sebagai porsi untuk korektor. Sebab, soal paling genting adalah apakah ide penulis sampai ke pembaca persis seperti yang dimaksudkan oleh penulisnya. Dan benar, dalam arti valid, bersesuaian dengan fakta.

Tetapi, sekali lagi saya bertanya, apakah bila dikatakan bahwa penyunting mesti mengerti kaidah tata bahasa Indonesia, itu sekaligus berarti harus mematuhi kaidah itu? Di titik inilah kita bersua dengan “paradoks” dalam kerja menyunting.

Kalau boleh meringkaskan kembali, penyunting atau redaktur tidaklah melulu berurusan dengan tubuh sebuah naskah. Ia juga mesti menghiraukan kandungan ide di dalamnya sepanjang tidak menyangkut pandangan penulis. Tidakkah bisa saja terjadi, misalnya, seorang penulis keliru memahami sebuah teori, katakanlah tentang strukturalisme atau dekonstruksi? Itu kasus yang patut dipersoalkan seorang penyunting atau redaktur, bukan pandangan penulis. Sebab jika hal terakhir yang terjadi, ia sudah melakukan sensor di sana.

Mudah-mudahan kian menjadi teranglah, seorang penyunting atau redaktur, selain kemampuan bahasa, perlu mengembangkan, pertama, kemampuan berbahasa, sebab nilai sebuah tulisan bukan semata terletak pada pelaksanaan kaidah kebahasaan, melainkan juga apakah tulisan itu dapat dimengerti dan yang tak kurang penting, valid. Kedua, kepekaan akan adanya perbedaan antara “menyunting” dan “menyensor”.

Di dalam bekerja, seorang penyunting selalu berada di tengah medan ide atau pengertian yang silang-sengkarut. Di tengah keriuhan itu, sang penyunting yang baik akan selalu mencadangkan kecurigaan sewaktu menatah kalimat, menyingkap selubung makna, dan mengawasi serta merawat bangun kalimat sampai pada tataran wacana. Pengetahuan kebahasaan, dalam kenyataan, tak banyak menolong bilamana seorang penyunting berhadapan dengan isi, dengan ide, dan dengan persoalan-persoalan konseptual. Bukan teori linguistik yang ia perlukan di situ, melainkan pengetahuan mengenai materi, pokok soal, yang diketengahkan penulis. Termasuk, tentu saja, kepekaan terhadap soal-soal yang bersinggungan dengan etika. Di situlah letak tanggung jawab moral seorang penyunting atau redaktur.

Bekasi, 5 Maret 2010



[1] Makalah untuk disajikan dalam diskusi “Menyikapi Undang-Undang Bahasa”, Ballroom Gedung Kompas Gramedia Lt 7, Jalan Palmerah Barat No 29-37, Jakarta, 27 Maret 2010.

[2] Eko Endarmoko belajar bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Indonesia. Esai-esai dan kritik kontributor kolom “Bahasa!” majalah Tempo ini dimuat di berbagai media cetak. Ia pernah bekerja sebagai redaktur di majalah Optimis (1983), redaktur pelaksana Berita Buku (Ikapi Pusat, 1987-1989), dan editor di penerbit Pustaka Utama Grafiti (1989-1997). Pada 1997 ia mulai bergabung dalam Komunitas Utan Kayu, yang kemudian menjelma Komunitas Salihara pada 2008. Akhir tahun 2006 terbit bukunya, Tesaurus Bahasa Indonesia.

[3] Lebih jauh, lihat Pamusuk Eneste, Buku Pintar Penyuntingan Naskah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), edisi kedua, 2005, khususnya Bab 2.

Tidak ada komentar: